PERLUKAH PDAM BERUBAH STATUS

Tinjauan Peraturan Perundang - Undangan Tentang BUMD UU No. 5 Tahun 1962 sudah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD khususnya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menuju globalisasi ekonomi daerah dan justru membuka celah salah kelola dan penyimpangan. Ketentuan UU No. 5 Tahun 1962 yang perlu direvisi :

1. Dasar dan tatacara pendirian BUMD - PDAM;
2. Bentuk BUMD - PDAM yang memaksimalkan profit oriented dan yang memaksimalkan pelayanan public (social oriented) ;
3. Kerjasama dengan pihak ketiga ;
4. Mekanisme kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD - PDAM ;
5. Pengangkatan dan kewenangan Direksi PDAM ;
6. Perencanaan jangka panjang dan pendek perusahaan (Business Plan) ;
7. Pertanggungjawaban dan pengawasan BUMD - PDAM ;
8. Kepegawaian atau Sumber Daya Manusia PDAM ;
9. Kebijakan manajemen dalam meningkatkan kinerja BUMD – PDAM :
revitalisasi/ restrukturisasi dan privatisasi.

Revitalisasi/Restrukturisasi PDAM 
Revitalisasi PDAM miliknya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi juga disebut BUMD menunjukkan banyaknya persamaan antara BUMN dan BUMD, maka yang langsung harus dipikirkan adalah redefinisi peran BUMD kalau dikehendaki agar BUMD dapat menjadi korporasi yang mencetak laba, mendukung pendapatan daerah, dan menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan perkataan lain, BUMD pun harus melakukan restrukturisasi dengan fokus dan pendalaman pada core competence dan core business masing-masing. Tahap ini harus disusul dengan gelombang kedua, yakni mencari kemungkinan privatisasi agar terlepas dari kontrol dan intervensi langsung dari birokrasi. Dengan demikian BUMD akan dapat membangun pengelolaan bisnis yang profesional dan transparan. Dalam kaitan itu, saya menganjurkan agar BUMD segera mencari aliansi-aliansi strategis, khususnya dengan BUMN. Konsisten dengan asumsi globalisasinya, saya berpendirian bahwa BUMD, sekecil apa pun unit bisnisnya, harus dimanajemeni sebagaimana layaknya perusahaan global. Dan ini bukan mimpi. Karena dengan pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah, tidak tertutup peluang bagi BUMD untuk membangun aliansi-aliansi global secara langsung! saya mengajukan wanti-wanti bagi pemerintah daerah, agar tidak lagi mempermasalahkan kepemilikan usaha di daerah masing-masing. Melainkan mempedulikan bagaimana pemerintah daerah dapat menciptakan lingkungan yang kondusif agar setiap pelaku bisnis di daerahnya dapat terus maju dan berkembang secara wajar dan alami. Pemerintah daerah akan memetik hasil melalui “multiplier effect” yang diciptakannya seperti penciptaan lapangan kerja, pembayaran pajak, dividen, hingga peluang-peluang kemitraan lainnya.

Secara tradisional, air dipandang sebagai barang publik yang dapat diakses setiap orang secara bebas dan tanpa pengecualian, sesuai UUD 1945 Pasal 33. Akan tetapi, kelangkaan dan penyalahgunaan air telah mengubah air menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi. Karena alasan tersebut, kegagalan pengelolaan air secara efektif dan efisien dapat menyebabkan krisis, yang apabila tidak ditangani secara serius, dapat berubah menjadi masalah sosial dan politik. Perubahan sudut pandang ini telah diakui dikalangan internasional, baik oleh pemerintah maupun industri air bersih.

Privatisasi PDAM
Penggunaan kata privatisasi di sektor air bersih, yang sering hanya dilihat sebagai penjualan aset negara, telah menjadi perdebatan serius beberapa tahun terakhir. Akibatnya, privatisasi sektor air bersih menjadi isu yang cukup rawan, tidak hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang. Di Indonesia, sebagian besar perusahan air bersih yang dimiliki oleh pemerintah daerah, melalui Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM, hampir bangkrut atau mengalami masalah keuangan akibat dililit hutang jangka panjang. Oleh karena itu, sangat diperlukan investasi baru dalam infrastruktur air bersih untuk memenuhi meningkatnya permintaaan di sejumlah kota besar di Indonesia. Data statistik menunjukkan hanya 40% penduduk perkotaan dan 8% penduduk pedesaan memiliki akses terhadap air bersih (Departemen Pekerjaan Umum, 2004).

Untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan mengatasi masalah keuangan PDAM, pemerintah berusaha menarik pihak swasta. Usaha ini dilakukan bersamaan dengan usaha pemerintah merestrukturisasi keuangan di PDAM. Untuk menarik minat pihak swasta menamkan modal di sektor infrastruktur, termasuk air bersih, dua tahun berturut-turut (2005 dan 2006) pemerintah mengadakan pertemuan internasional Infrastructure Summit. Sejalan dengan acara tersebut, pemerintah juga mengumumkan sejumlah kebijakan baru dalam rangka menciptakan iklim usaha yang lebih ramah bagi para investor.

Sayangnya, kenyataan yang terjadi di lapangan berkata lain. Hasil yang dicapai ternyata masih dibawah target pemerintah. Meskipun pemerintah telah memberikan beberapa insentif, keterlibatan pihak swasta pada sektor air bersih masih sangat rendah. Pengalaman menunjukkan bahwa privatisasi sektor air bersih memang lebih sulit ketimbang infrastruktur sektor lain. Ketidaktertarikan pihak investor swasta terhadap sektor air bersih mengggambarkan tingginya potensi risiko proyek air bersih selama periode kontrak. Sektor swasta yang berorientasi pada keuntungan pada dasarnya mencari kesempatan investasi yang memberikan tingkat pengembalian yang tinggi dengan tingkat risiko yang dapat diukur. Ketika hubungan antara keuntungan dan tingkat risiko tidak jelas, ide privatisasi hanya cemerlang secara teori, tidak dalam praktek.

Secara teknis, privatisasi adalah pemindahan risiko yang biasanya ditanggung pemerintah kepada pihak swasta, dengan menggunakan skema kompensasi tertentu bagi pihak swasta atas kesediaan menanggung risiko tersebut. Dengan demikian, definisi privatisasi tidak hanya masalah penjualan aset oleh pemerintah kepada pihak swasta, tetapi juga mencakup isu pengelolaan dan pengoperasian, konsesi, investasi baru, sampai masalah divestasi. "Masyarakat umumnya memahami privatisasi hanya sebagai penjualan aset oleh pemerintah kepada pihak swasta".

Di Indonesia, dan di beberapa negara lain, istilah ‘privatisasi’ tidak terlalu popular
dan bahkan lebih sering dihindari, jika istilah tersebut dikaitkan dengan isu kepentingan umum. Alasan yang melatarbelakangi prilaku tersebut adalah bahwa masyarakat biasanya dibebani biaya tambahan, lebih tinggi dari biaya yang selama ini dibayar. Keberatan umumnya muncul apabila masyarakat sudah cukup lama menikmati subsidi pemerintah.
Di Indonesia, dalam konteks air bersih dan infrastruktur lainnya, istilah Kemitraan.

Pemerintah-Swasta (KPS) lebih banyak digunakan dibandingkan dengan istilah privatisasi. Dalam hal penyediaan air bersih, pemerintah menawarkan lima jenis KPS :
1) pengelolaan pelayanan,
2) kontrak pengelolaan,
3) kontrak sewa,
4) bangun-operasi-dan pengalihan asset (BOT—build-operation-transfer),
5) kontrak konsesi.
Dari kelima jenis KPS, BOT dan kontrak konsesi paling banyak dilakukan. Dalam prakteknya, di luar divestasi, KPS dapat dianggap sama dengan privatisasi, dalam arti bahwa kepemilikan infrastruktur tetap berada di tangan pemerintah. Karena privatisasi (atau KPS) adalah mengenai pengalihan risiko proyek, identifikasi dan pengalokasian risiko menjadi sangat penting untuk menjamin keberhasilan privatisasi proyek air bersih. Tingkat minimum pengembalian yang diharapkan investor swasta, tingkat dukungan pemerintah (jika ada), dan apakah proyek layak secara finansial—seluruhnya harus diukur sejak awal, dalam rangka evaluasi apakah proyek tersebut layak untuk menjalani KPS.

Pengalaman menunjukkan bahwa harus ada kesepakatan pendapat dalam hal tingkat dan derajat risiko, dari berbagai pihak yang terlibat, sehingga dapat disepakati ‘harga’ dari sebuah proyek. Para pihak menjalani KPS menunjukkan bahwa tingkat kekritisan risiko, menurut operator berhubungan dengan pendapat umum, yaitu bahwa investor khawatir terhadap akibat dari setiap keputusan pemerintah yang dapat berdampak buruk pada cash flow proyek. Secara umum, pendapat regulator dan operator terhadap tingkat risiko hampir sama, dengan pengecualian: perubahan peraturan yang tidak adil, pemutusan kontrak oleh pemerintah, dan tidak pastinya permintaan. Pengamatan lebih mendalam menunjukkan bahwa regulator secara konsisten memberi nilai ketiga risiko tersebut lebih rendah ketimbang operator, hal ini kemungkinan menunjukkan kekhawatiran serius operator terhadap ketidakpastian yang berkaitan dengan faktor-faktor risiko di luar kontrol langsung mereka. Pemahaman tentang pengalokasian risiko yang optimal Istilah ‘pengalokasian risiko’ merujuk kepada pengaturan pihak atau pihak-pihak mana yang harus menanggung konsekuensi dari kejadian-kejadian yang diidentifikasi sebagai risiko proyek. Pengalaman menganjurkan pengalokasian dan transfer risiko optimal, bukan maksimal. Pengalokasian risiko yang optimal mengharuskan bahwa risiko tertentu harus ditanggung oleh pihak yang :
a) paling mampu menilai, mengontrol, dan mengelola risiko tersebut ;
b) memiliki akses terbesar terhadap instrumen yang dapat menghadang risiko ;
c) memiliki kemampuan terbesar untuk memecah risiko ; atau
d) mengelola risiko dengan biaya rendah (Kerf et al., 1998).
Pada prakteknya, pengalokasian risiko tidak sesederhana seperti kelihatannya, bahkan untuk para ahli yang telah bekerja bertahun-tahun di lapangan. Di satu sisi pemerintah ingin memindahkan sebagian besar risiko ke pihak swasta, sebaliknya pihak swasta berupaya keras untuk mengurangi berhubungan dengan risiko. 

Kecenderungan Resiko Regulator (Pemerintah).
Meningkatnya biaya konstruksi, meningkatnya biaya lahan, negosiasi harga lahan yang berkepanjangan, ketidaktersediaan air di lokasi proyek fluktuasi inflasi, fluktuasi nilai tukar rupiah, fluktuasi suku bunga, ketidakpastian permintaan, meningkatnya biaya operasional dan pemeliharaan. risiko politik, risiko komersial terkait dengan kondisi suatu negara, risiko ketidakpastian permintaan, dan risiko force majeure yang tidak bisa diasuransikan.
Kecenderungan Resiko Operator (Swasta).

Perubahan peraturan baik umum, khusus, maupun yang sifatnya tidak adil, nasionalisasi/pemindahan kepemilikan, pemutusan kontrak oleh pemerintah, penghentian di awal oleh pemerintah, penyalahgunaan wewenang oleh petugas pemerintah, bencana alam, perang, kerusuhan, serangan teroris, ketidaksediaan air, ketidakpastian penetapan tariff, protes yang menyebabkan gangguan, kualitas air pasokan yang rendah. risiko dalam pembangunan, proses kontruksi, komisi, dan operasional.

Memberikan pandangan mendalam tentang kesepatakan antar kelompok, mencerminkan praktek umum dalam pengalokasian risiko tertentu proyek kepada pemerintah. Termasuk diantaranya: risiko politik yang sifatnya tradisional dan quas-commercial, risiko force majeure, dan risiko rendahnya kualitas dan kuantitas air. Akan tetapi, meskipun regulator dan operator kelihatannya sepakat untuk beberapa risiko proyek, risiko proyek sisanya tetap tidak dapat dipecahkan masalah pengalokasiannya. Risiko-risiko proyek tersebut dianggap sebagai ‘wilayah abu-abu’ yang masih membutuhkan negosiasi antara kedua belah pihak sebelum pengalokasiannya diputuskan.

Tantangan utama pemerintah Indonesia saat ini adalah mengidentifikasikan cara untuk mengubah persepsi industri sehingga baik pihak pemerintah maupun pihak swasta memiliki kesepahaman terhadap peran masing-masing dalam Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Agar pengelolaan KPS sukses, sangat diperlukan pengalokasian risiko proyek secara optimal antara dua pihak yang menandatangani kontrak. Satu hal yang tidak kalah penting adalah penentuan yang jelas pihak yang akan menangung risiko tertentu, tanpa terkait apakah alokasi tersebut optimal atau tidak. Potensi sengketa sering dipicu oleh ketidakjelasan pengalokasian risiko dalam kontrak. Kadang-kadang, sengketa tersebut memicu berbagai pendapat dari pihak-pihak di luar penanda tangan kontrak, mengatasnamakan kepentingan umum. Pengaturan KPS indentik dengan begitu banyak risiko. Meskipun kelihatannya untuk beberapa jenis risiko dapat secara langsung diketahui siapa yang bertanggung jawab, hal ini tidak selalu terjadi pada proyek air bersih. Pada beberapa situasi, dalam negosiasi antara dua pihak yang terlibat harus ditentukan sejauh mana masing-masing pihak bertanggung jawab terhadap setiap jenis risiko. Lebih penting lagi, sangat diperlukan untuk menyebutkan pengalokasian risiko proyek di dalam kontrak, dan bagi kedua belah pihak untuk memberikan komitmen yang kuat untuk memenuhi kontrak yang telah disepakati. Penulis JANUAR PRIBADI.SE (Diterbitkan Majalah Air Minum Hal, 50, 51 dan 52 Edisi 161. Februari 2009). Baca juga Cara-penggunaan-internet.html

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini? Klik...

Comments

Kirim E-mail anda dapatkan artikel berlangganan gratis....

Enter your email address:

DELIVERED BY sptirtadharma.net ||| 🔔E-mail : pdamsptd86@gmail.com

🔝POPULAR POST

ENAM CIRI CIRI BOS PELIT TINGKAT DEWA

RESIKO PETUGAS PDAM TERHADAP PELANGGAN

SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DIBARAT

EMPAT TIPS TIDAK MUDAH DIADU DOMBA REKAN KERJA DIKANTOR

MEMBUAT RUTE BACA METER DAN TIPS AGAR TAHU TOTAL PEMAKAIAN

FOLLOWERS