SKPP TIDAK GENTELMENT DILINGKARAN KEJAKSAAN

Jakarta (SIB)
Komisi III DPR akan memanggil Jaksa Agung terkait dikeluarkannya SKPP bagi Bibit dan Chandra. Pemanggilan ini dimaksudkan untuk mengklarifikasi secara langsung alasan dikeluarkannya SKPP.
“Kita akan rapat untuk mengagendakan pemanggilan terhadap Jaksa Agung. Dasar dikeluarkannya SKPP tidak bisa berdasarkan atas kepentingan umum. Kasus hukum harus dihentikan berdasarkan teknis yuridis. Untuk masalah ini sebaiknya deponering,” kata Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin saat jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa.
Pemanggilan tersebut, lanjut Azis, untuk menanyakan pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh Jaksa Agung sehingga mengeluarkan produk hukum tersebut. Karena menurutnya, secara yuridis, SKPP tidak bisa dikeluarkan jika kasus sudah P21 atau dinyatakan siap dilimpahkan ke pengadilan.
“SKPP secara prosedur teknisnya tidak bisa dikeluarkan dalam posisi kasus sudah P21. Pasal 50 KUHP menyatakan, orang tidak bisa dipidana karena melaksanakan UU. Demikian juga dengan Bibit dan Chandra,” papar Azis.
Lebih lanjut dia menjelaskan, sesuai dengan pasal 140 KUHAP, sebuah kasus hukum pidana bisa dihentikan jika memenuhi beberapa persyaratan yakni tidak cukup bukti, bukan termasuk perkara pidana, dan demi hukum.
“Pasal 140 KUHAP disebutkan, apabila bukan tindak pidana, tidak bisa jika dipraperadilankan. Apabila nanti SKPP dilakukan, maka tidak akan ada kepastian hukum,” imbuhnya.
‘Tidak Cukup Bukti’ Tak Disebut, SKPP Bibit & Chandra Preseden Buruk
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Bibit dan Chandra dianggap sebagai preseden buruk karena ‘tidak cukup bukti’ tidak menjadi pertimbangan Kejaksaan.
“Sekalipun langkah politik ini merupakan pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasca temuan Tim 8, SKPP dengan alasan yang tidak kuat akan menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum. Apalagi jelas diakui oleh pihak Kejaksaan Agung bahwa yang dominan menjadi pertimbangan dikeluarkannya SKPP adalah tuntutan publik, suasana kebatinan yang tidak terukur, bukan karena tidak cukup bukti,” tutur Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, Selasa.
Hendardi menuturkan, Kejaksaan menganggap kasus kedua pimpinan KPK itu telah memenuhi rumusan delik pasal 12e dan 23 UU Pemberantasan Korupsi. Unsur pidananya terpenuhi tapi dihentikan demi hukum.
“Langkah ini hanyalah untuk mengesankan bahwa polisi dan jaksa telah bekerja benar sesuai prosedur hukum. Dua institusi ini tidak mau kehilangan muka dan dimintai pertanggungjawabannya. SKPP hanya menutupi kenyataan bahwa kerja mereka sesungguhnya tidak becus dan enggan mengakui bahwa bukti yang ada tidak cukup,” ungkap Hendardi.
Menurut Hendardi, Presiden SBY kalau masih ingin mendapat dukungan publik harus melakukan koreksi dengan melakukan reposisi di institusi Kepolisian dan Kejaksaan dengan personel yang tepat dan handal. Perlu dibentuk Satuan Tugas yang berfungsi untuk melakukan evaluasi dan seleksi perekrutan dan penempatan personil dalam jabatan strategis di Kepolisian dan Kejaksaan.
Hendardi berpandangan, SKPP akan menutup pintu pengungkapan lebih luas dan gamblang tentang skandal kriminalisasi pimpinan KPK. SKPP juga telah menjadi bentuk kompromi politik antar-institusi penegak hukum yang menutup rapat pihak-pihak yang terlibat dalam skandal kriminalisasi KPK dimintai pertanggungjawaban. Baca juga Cara-menghitung-efesiensi-penagihan
Hendardi melihat, dalam situasi yang penuh kontroversi, seharusnya kasus Bibit-Chandra terlebih dahulu dibawa ke pengadilan, sehingga praktik kriminalisasi itu bisa diuji dan dibuktikan. Membawa kasus ini ke pengadilan, bukan berarti kita tidak sependapat dengan fakta-fakta kriminalisasi, tapi pengadilan justru dibutuhkan untuk membuktikan logika-logika keliru para aparat hukum dan kehendak politik sejumlah orang untuk mengkriminalkan KPK.
“SKPP merugikan Bibit-Chandra, publik, dan penegakan hukum di Indonesia, karena kesempatan untuk mengungkap seluruh skandal itu tertutup. Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK mungkin saja bisa berdamai dengan kompromi politik ini, tapi publik dan penegakan hukum jelas dirugikan. Tidak ada pembelajaran yang progresif dari penyelesaian kasus ini keculai bahwa kepastian hukum menjadi semakin tidak pasti,” pendapat Hendardi.
Kasus Bibit-Chandra
Tak Berani Bicara Kasus Kurang Bukti, Kejagung Tak Gentleman
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra telah keluar. Namun kebijakan ini tak lepas dari kritik karena – melihat dari alasan yuridis dan sosiologis yang disampaikan – Kejagung berupaya mengubur adanya indikasi rekayasa kasus.
“Semestinya Kejagung mengatakan kasusnya kurang bukti, itu saja yang utama. Jangan melempar alasan ke pihak lain, di luar Kejagung dan kepolisian,” jelas pengamat hukum pidana Rudi Satrio melalui telepon, Selasa.
Salah satu alasan Kejagung menghentikan kasus Bibit dan Chandra adalah adanya tuntutan publik. Alasan ini dinilai tidak elok.
“Itu bukan alasan karena hukum. Hukum bicara kasus dihentikan karena kasus nebis in nidem, tersangka meninggal dunia, dan kasus kadaluwarsa,” terangnya.
Menurut Rudi, jika memang Kejagung berniat untuk menghentikan kasus ini jangan karena alasan permintaan Presiden dan alasan tuntutan publik, serta karena rekomendasi tim 8. Seharusnya kemukakan saja kasus kurang bukti.
“Kalau begini mereka hanya melempar alasan. Tidak gentleman,” kritik Rudi.
Awas Praperadilan! Kejagung Jangan Main-main Soal Alasan SKPP
Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta tidak main-main mengeluarkan alasan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Jika alasan SKPP kasus Bibit dan Chandra salah, maka banyak oportunis yang akan mempraperadilankan SKPP kasus ini.
“Itu kan bahaya, memenuhi delik pidana tapi dihentikan,” ujar Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar ketika berbincang dengan detikcom, Selasa.
Yang dikhawatirkannya, jika alasan Kejagung itu lemah, maka akan membuka peluang praperadilan SKPP kasus Bibit-Chandra ini. Kejaksaan seharusnya mencari alasan yang masuk akal untuk mengeluarkan SKPP ini.
“Kalau sudah praperadilan, itu bahaya. Dengan seketika mudah sekali penghentian perkara ini dibatalkan pengadilan. Kejaksaan harusnya serius, alasan penghentian masuk di akal dan bisa diterima. Alasan penghentian sangat lemah bisa praperadilan dan banyak petualang yang bisa mempraperadilankan,” tukas Zainal.
“Jangan sampai Kejaksaan bermain dengan alasan penghentiannya. Praperadilan itu, hati-hati,” tegas dia.
Zainal pun berharap Kejagung mengubah alasan SKPP dengan yang lebih kuat sebelum SKPP diteken.
Senin kemarin, Jampidsus Marwan Effendi mengatakan SKPP dikeluarkan karena 2 alasan, yuridis dan sosiologis. Secara yuridis, perbuatan Bibit dan Chandra memenuhi rumusan delik pidana yang disangkakan, yakni Pasal 12 Huruf e dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Tetapi, dipandang dua tersangka tidak menyadari dampak perbuatannya karena dinilai sebagai hal yang wajar dalam tugas dan kewenangan mereka. Hal itu sudah dilaksanakan oleh pendahulunya,” ujar Marwan.
Anies: Kejagung Semestinya Munculkan Alasan Hukum
Alasan hukum seharusnya jadi pertimbangan utama menghentikan kasus Bibit-chandra. Tidak semestinya lembaga hukum seperti Kejagung mengedepankan pertimbangan sosiologis yang jadi dasar penghentian kasus.
“Kami, Tim 8 yang bukan institusi penegak hukum saja, dari sisi apa yang dikerjakan, tidak sedikit pun memasukan faktor-faktor nonhukum untuk mendapatkan kesimpulan maupun untuk mendapatkan rekomedasi. Sepenuhnya faktor hukum,” kata mantan anggota Tim 8 Anies Baswedan melalui telepon, Selasa.
Tim 8, dalam bekerja dan menghasilkan rekomendasi sepenuhnya melihat bukti, dan setelah tim bekerja tidak ditemukan bukti.
“Jadi kalau Kejagung kemudian memang tidak menemukan bukti, hentikan. Dan jangan kemudian memasukkan faktor-faktor nonhukum, karena bisa menjadi preseden yang negatif,” terangnya.
Anies menuturkan, bila dasar aturan hukum yang dipakai, maka akan tampak jelas, kalau benar ke depannya akan benar, dan kalau salah ke depannya juga akan salah.
“Tapi kalau politis, sekarang bisa jadi benar, namun kemudian besok salah. Kepolisian dan kejaksaan jangan bergerak di wilayah politis, pertimbangannya hanya hukum saja,” urainya.
Anies enggan berspekulasi apakah keputusan dengan pertimbangan sosiologis karena desakan publik menjadi salah satu pertimbangan utama, dilakukan hanya untuk menutupi adanya indikasi rekayasa.
“Saya berharap isi suratnya, siapapun yang melihat keputusan ini bisa melihatnya sebagai keputusan yang benar, demikian juga ke depannya,” tutupnya.
Pengacara Chandra-Bibit Tak Sependapat Alasan Yuridis SKPP
Tim pengacara Chandra-Bibit masih akan mempelajari Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang telah dikeluarkan Kejari Jaksel. Tim pengacara tak setuju dengan alasan yuridis yang menjadi dasar terbitnya SKPP.
“Kami menyambut baik adanya SKPP. Tapi alasan yuridis kami tidak sependapat. Sejak awal kasus ini nggak ada,” kata pengacara Chandra-Bibit, Alexander Lay, dalam jumpa pers di Kejari Jaksel, Jl Rambai I, Jakarta, Selasa.
Alex mendasarkan pendapatnya pada temuan Tim 8 yang menyatakan tidak ada tindak pemerasan dalam kasus kliennya. “Missing link-nya banyak,” ujarnya.
Alex mengatakan, meski tak sepaham, namun itu merupakan kewenangan jaksa. “SKPP adalah kewenangan JPU, mereka menerbitkannya, kita menghargai, namun kita tidak sependapat dengan alasan yuridisnya,” ujarnya.
Alasan yuridis yang disampaikan Kejaksaan adalah perbuatan Chandra dan Bibit memenuhi delik pidana yang disangkakan yaitu pasal 12 huruf e dan pasal 23 UU No 31/1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun keduanya tidak menyadari dampak perbuatannya karena dinilai sebagai hal yang wajar dan hal itu sudah dilaksanakan pendahulunya.
Pengacara Bibit-Chandra lainnya, Taufik Basari, juga menyatakan hal serupa. Dia menyatakan, sejalan dengan rekomendasi Tim 8, kasus ini kurang bukti.
“Tidak ada satu bukti bahwa Pak Bibit dan Pak Chandra melakukan tindak pidana. Kita pelajari dulu SKPP-nya,” imbuhnya.
Kejagung Hormati Pendapat Pengacara Bibit-Chandra Soal Alasan Yuridis
Kejaksaan Agung (Kejagung) menghormati pendapat kuasa hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang tidak setuju dengan alasan yuridis dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
“Kalau ada perbedaan silakan memberi pendapat, yang jelas kita sudah mengeluarkan SKPP. Kalaupun kuasa hukum kedua pihak baik Bibit maupun Chandra mengeluarkan pendapat lain, itu sah dan kita hormati,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto.
Hal itu dikatakan Didiek di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Jl Rambai, Jakarta, Selasa.
Alasan yuridis yang disampaikan Kejaksaan adalah perbuatan Chandra dan Bibit memenuhi delik pidana yang disangkakan yaitu pasal 12 huruf e dan pasal 23 UU No 31/1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun keduanya tidak menyadari dampak perbuatannya karena dinilai sebagai hal yang wajar dan hal itu sudah dilaksanakan pendahulunya.
Pengacara Bibit-Chandra, Taufik Basari tidak setuju bahwa perbuatan Bibit dan Chandra telah memenuhi delik pidana. Alasannya, hasil temuan Tim 8 menyebutkan kasus Bibit dan Chandra tidak cukup bukti untuk diteruskan proses hukumnya.
“Tidak ada satu bukti bahwa Pak Bibit dan Pak Chandra melakukan tindak pidana. Kita pelajari dulu SKPP-nya,” kata Taufik.
SKPP Tunjukkan Tak Ada Niat Jahat, Tapi Lebih Aman Dideponir
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) menunjukkan tidak ada niat jahat yang dimiliki 2 pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Namun SKPP berisiko dipraperadilankan.
“Itu artinya apa, dari perjalanan bahwa tidak ada unsur mens rea, artinya niat jahat untuk melakukan kejahatan. Tidak ada itu alasan dari pertanggungjawaban pidana,” ujar pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy OS Hiariej kepada detikcom, Selasa.
Eddy mengatakan Kejagung tentunya mempunyai fakta dan bukti yang dikumpulkan. Namun yang jelas dari SKPP ini tidak ada niat jahat dari Bibit dan Chandra untuk melakukan penyalahgunaan kewenangannya.
Bibit dan Chandra disangka menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan surat pencegahan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo serta surat pencegahan dan pencabutan pencegahan Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko S Tjandra.
Eddy mengatakan SKPP ini bisa menimbulkan upaya hukum praperadilan di kemudian hari. “Siapa yang mau (praperadilan)? Bisa-bisa saja praperadilan tapi hakim yang memutuskan apa tidak menentang suara rakyat? Apa hakimnya ya berani?” tukas Eddy.
Eddy sendiri secara pribadi berpendapat bahwa Kejagung sebaiknya menggunakan hak oportunitasnya dengan melakukan deponeering kasus Bibit dan Chandra ini.
“Jaksa Agung menggunakan hak oportunitasnya di pasal 35 huruf c UU Kejagung. Itu jauh lebih safe. Hak oportunitas itu tidak melakukan penuntutan pidana demi kepentingan umum. Kalau oportunitas tidak bisa dipraperadilankan,” tutur Eddy.
Pasal 35 huruf c UU Kejagung Nomor 16/2004 menyatakan tugas dan wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Sedangkan guru besar hukum Universitas Indonesia (UI) yang juga salah satu mantan anggota Tim 8 Hikmahanto Juwana mengatakan apa yang dilakukan Kejagung sudah sesuai dengan rekomendasi Tim 8.
“Kalau saya yang penting rekomendasi sudah dijalankan, sudah dilakukan sesuai dengan yang kita rekomendasikan. Tapi mengenai alasan tentu kita tidak bisa intervensi terlalu jauh, itu sudah merupakan kewenangan Kejaksaan,” ujar Hikmahanto kepada detikcom.
Jampidsus: Tak Cuma Bibit-Chandra, Pak Harto Juga Dapat SKPP
SKPP Bibit-Chandra bukan kali pertama dikeluarkan Kejagung. Kejagung sudah pernah mengeluarkan SKPP untuk mantan Presiden RI Soeharto dan eks Kepala BPPN Syarifuddin Tumenggung.
“Sudah beberapa kali kok Kejagung mengeluarkan seperti ini. Contohnya Syarifuddin Tumenggung dan Pak Harto,” kata Jampidsus Marwan Effendy di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa.
Menurut Marwan, dasar pengeluaran SKPP tersebut diatur dalam pasal 139 KUHAP. Di pasal itu disebutkan apakah suatu kasus itu layak atau tidak dilanjutkan.
“Kalau layak ya dilanjutkan. Kalau tidak ya diberhentikan,” imbuhnya.
Bila Ada Praperadilan, Kejagung Siap Bertarung Argumen di Pengadilan
Bibit-Chandra sedang mempelajari SKPP yang dikeluarkan Kejaksaan. Bila ada sejumlah kelompok masyarakat yang hendak mengajukan praperadilan atas kasus tersebut, Kejagung siap bertarung argumentasi di pengadilan.
“Kita sudah mencermati kebijakan pendapat hukum. Kalaupun ada beda pendapat kita bertarung argumentasi ke pengadilan,” kata Kapuspenkum Kejagung Didiek Darmanto di Kejari Jakarta Selatan, Jl Rambai, Jakarta, Selasa.
Menurut Didiek, sampai sekarang belum ada yang mengajukan praperadilan. Jika memang ada hal itu dinilai bentuk perhatian masyarakat.
“Itu wacana mereka. Kita mendengarnya demikian. Kalau memang ada gugatan nanti kita sikapi dengan cara menghadiri dan memberikan penjelasan dan tanggapan,” ungkapnya.
Komisi III Minta Kejagung Gunakan Deponering
Pimpinan Komisi III DPR menilai janggal pilihan Kejaksaan Agung yang memilih SKPP dalam menghentikan kasus Bibit dan Chandra. Harusnya, dalam perspektif hukum yang benar, Jaksa Agung menggunakan deponering, bukan SKPP.

“Kalau tujuannya untuk kepastian hukum, maka mekanismenya seharusnya deponering. Alasan sosiologis untuk kepentingan umum tidak boleh menjadi dasar SKPP,” kata Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dalam jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa.
Menurut politisi PD ini, pernyataan Jampidsus Marwan Effendi yang membangun argumentasi soal pengeluaran SKPP justru membikin keputusan Kejagung makin blunder. Apalagi dalam salah satu argumentasi dan keterangannya, sempat menyebutkan bahwa kasus Bibit dan Chandra sebenarnya P21.
“P21 itu berarti sudah terbukti, kalau sudah terbukti tidak boleh dikeluarkan SKPP. Kalau pakai alasan sosiologis demi kepentingan umum, harusnya mengeluarkan deponering,” papar Benny.
Benny menilai keputusan Kejagung soal SKPP dengan alasan sosiologis baru kali ini terjadi. Hal ini akan menjadi preseden buruk jika tidak diperbaiki oleh Kejagung.
“Belum ada presedennya sikap seperti ini di Kejaksaan Agung. Mungkin ingin mengakomodir semua situasi, tetapi tidak mungkin mengeluarkan SKP2, sedangkan berkas sudah lengkap,” papar doktor hukum ini.
Benny menuturkan, kalau deponering diambil maka tertutup kemungkinan dipersoalkan lagi secara hukum. Tetapi kalau SKPP bisa digugat lagi di pengadilan. “Saya tidak bisa bayangkan kalau langkah ini diambil kembali dan pengadilan mengabulkan. Ini menjadi komplikasi hukum lagi,” ujarnya.
Jampidsus: Perbedaan Pandangan dalam Hukum itu Biasa
Pengacara Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto belum bisa menerima alasan hukum dihentikannya kasus kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Bagi Kejaksaan, beda pendapat dalam dunia hukum adalah yang biasa.

“Perbedaan pandangan dalam hukum itu biasa dalam persoalan hukum,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Marwan Effendy saat dihubungi detikcom, Rabu (2/12).
Dikatakan Marwan, memang sulit untuk menentukan siapa yang benar dan salah, terbukti atau tidak. Satu-satunya cara untuk menentukan kebenaran itu adalah melalui pengadilan, bukan dengan penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) seperti diterapkan pada Chandra dan Bibit.
“Permasalahannya sekarang ini penyelesaian yang harus ditempuh di luar pengadilan dan itu pun didorong secepatnya selesai,” lanjutnya.

Seperti diketahui, pengacara Chandra dan Bibit menganggap kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang menimpa kliennya sejak awal memang tidak ada. Penyidik tidak mempunyai bukti satu pun untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Baca Juga : Pengertian-kepemimpinan

Sedangkan Kejaksaan menilai perbuatan Chandra dan Bibit telah memenuhi delik pidana yang disangkakan yaitu pasal 12 huruf e dan pasal 23 UU No 31/1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun keduanya tidak menyadari dampak perbuatannya karena dinilai sebagai hal yang wajar dan hal itu sudah dilaksanakan pendahulunya. Dengan demikian, kedua pimpinan KPK itu dapat diterapkan pasal 50 KUHP dan tidak dipidana.
“Jadi terserah saja kalau ada pihak-pihak yang tidak sependapat atau dengan kata lain silakan saja kalau ada pihak-pihak menganggap pertimbangan hukum yang dijadikan dasar penerbitan SKPP itu,” pungkas Marwan. (Sumber detikcom/y).

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini? Klik...

Comments

Kirim E-mail anda dapatkan artikel berlangganan gratis....

Enter your email address:

DELIVERED BY sptirtadharma.net ||| 🔔E-mail : pdamsptd86@gmail.com

🔝POPULAR POST

ENAM CIRI CIRI BOS PELIT TINGKAT DEWA

PERANAN SATUAN PENGAWAS INTERN (SPI) PERUMDAM AIR MINUM DALAM GCG DAN PENINGKATAN KINERJA

BAGAIMANA MEMBERIKAN TANGGAPAN UNTUK MENJAWAB TEMUAN BPK?

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BUMD

PERJANJIAN BUSINESS TO BUSINESS

FOLLOWERS