BENARKAH PARA MANEJER TIDAK SAMA SEKALI BERINOVASI?

Manajer berinovasi

Inovasi bisa jadi merupakan sumber kehidupan dari sebuah organisasi. Namun herannya, rata-rata kesuksesan usaha inovasi di perusahaan hanya sebesar 17% saja. Bahkan, menurut riset yang dilakukan oleh pengarang dan praktisi improvement Ron Ashkenas, perusahaan inovator seperti Procter & Gambler pun hanya mencapai kurang dari 50% dari success rate-nya.

Apa yang mencegah perusahaan-perusahaan tersebut untuk berinovasi? Ashkenas berpendapat, salah satu penyebabnya adalah karena para manager tidak ingin karyawannya melakukan inovasi; dan itu benar, walaupun kebanyakan dari mereka akan menyanggahnya.

Cobalah ambil waktu untuk sedikit kontemplasi: berapa jam yang anda habiskan dalam sehari, seminggu, atau sebulan, yang anda gunakan untuk mendorong karyawan berpikir kreatif, atau bekerja untuk melakukan inovasi?

Perusahaan seperti 3M atau Google, yang membayar dan membiarkan karyawannya menggunakan waktu kerja mereka untuk berinovasi, adalah jenis perusahaan yang langka. Sebagian besar perusahaan menginginkan karyawannya untuk selalu fokus pada bisnis yang sedang berjalan… dan hanya mengizinkan mereka berinovasi pada sisa-sisa waktu yang ada (jika memang ada). Jadi, akhirnya, mereka hanya akan menyampaikan pesan yang sama kepada karyawan: “Kami menginginkan kalian berinovasi, tapi hanya jika kalian telah selesai dengan semua pekerjaan yang ada dalam kontrak kalian…”

Menurut Ashkenas, berdasarkan pengalamannya sebagai praktisi, ada tiga alasan yang dilakukan secara tidak sengaja, yang menyebabkan para manajer mengirim pesan yang tidak jelas mengenai inovasi:

Pertama,

Manajer membutuhkan hasil yang cepat, yang seringkali didesak oleh rencana-rencana dan insentif jangka pendek, atau ekspektasi reguler untuk melakukan improvement. Inovasi biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuahkan hasil, yang biasanya menimbulkan konflik dengan kebutuhkan memperoleh hasil yang cepat tersebut.

Jadi, walaupun para manager memahami bahwa inovasi adalah hal yang penting, namun mereka tidak memiliki cukup kesabaran untuk menunggu hasil selama beberapa tahun. Ironisnya, mereka mengatakan bahwa inovasi adalah hal yang penting, namun di lain pihak tidak memberikan dukungan berupa waktu ataupun sumber daya.

Kedua,

Para manager mungkin memiliki ketakutan bahwa inovasi menyimpan potensi “melemahkan” bisnis yang saat ini berjalan. Ashkenas telah melihat para manager yang memperlambat proses investasi untuk produk barunya, karena mereka takut pelanggan akan berpindah kepada produk lain yang lebih murah ataupun lebih tahan lama, dan akan mempengaruhi hasil yang telah dicapai. Dengan kata lain, ketika para manager ingin menggoyang para kompetitor, sesungguhnya mereka juga takut untuk “menggoyang” diri mereka sendiri.

Kemungkinan lain,

Manager mungkin telah terbiasa dengan implementasi continuous improvement yang baku. Pendekatan seperti Six Sigma terbukti telah membantu perusahaan untuk melempar in-efisiensi sejauh mungkin, namun juga memiliki resiko yang mengarahkan segenap sumber daya untuk terpaku dalam usaha membuat proses menjadi lebih baik, tahap demi tahap. Namun, di sisi lain, inovasi seringkali membutuhkan eksperimen yang acak alih-alih implementasi metode yang bertahap. Sebagai hasilnya, manager yang telah terbiasa dengan budaya continuous improvement yang baku mungkin akan merasa tidak nyaman dengan perubahan yang tidak bertahap.

Untuk menghindari kondisi yang kaku seperti ini, disarankan untuk membentuk budaya perusahaan yang fleksibel dan kreatif, sehingga penggunaan metode CI tidak mengekang kemungkinan inovatif para karyawan.

Jika anda mengenali tanda-tanda demikian pada organisasi anda, berikut beberapa saran dari Ashkenas untuk mengatasinya:

Berbicaralah kepada manager dan tim senior anda, mengapa secara sadar atau tidak, mereka menghindari inovasi. Aturlah variasi bahasa yang sopan untuk mendiskusikan komitmen mereka terhadap inovasi. Sampaikan ‘pesan-pesan tidak jelas’ yang anda tangkap mengenai inovasi, dan berikan juga contoh-contoh kesempatan berinovasi yang terlewat. Ingatlah, bahwa tidak semua manajer mencoba mencegah inovasi. Karena itulah, dibutuhkan diskusi untuk melepaskan dilema, yang akan memudahkan para pengambil keputusan untuk bersikap lebih terbuka.

Usahakanlah inovasi dengan para kolega. Daripada bekerja sendirian, bentuklah hubungan partner dengan rekan-rekan untuk mencapai target inovasi yang eksplisit. Contoh: anda bisa mengadakan semacam misi dengan para manager untuk mengeluarkan ide pengembangan bisnis yang akan berlaku pada satu tahun kedepan. Katakanlah, sesi brainstorming dilakukan setiap Jumat pagi. Dengan menetapkan jangka waktu yang lama, anda bisa mendorong dan saling membantu dalam pekerjaan yang tidak membutuhkan hasil yang cepat. Dengan cara ini, tim anda akan mampu mencapai sesuatu yang lebih besar daripada yang dapat dicapai oleh masing-masing bila bekerja sendirian. Baca Juga : Sejumlah-kharomah-rabiah-al-adawiyah

Mengubah budaya inovasi di perusahaan jelas bukan hal yang mudah. Namun, itulah alasan mengapa anda harus melakukan inovasi!

Yang paling penting, sejauh mana-kah perusahaan anda ingin berinovasi?

Disarikan dari tulisan oleh Ron Ashkenas, praktisi di bidang manajemen dan kepemimpinan, dan pengarang buku “Simply Effective” dan co-author untuk buku “The GE Work-Out” dan “The Boundaryless Organization”. 

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini? Klik...

Comments

Kirim E-mail anda dapatkan artikel berlangganan gratis....

Enter your email address:

DELIVERED BY sptirtadharma.net ||| 🔔E-mail : pdamsptd86@gmail.com

🔝POPULAR POST

ENAM CIRI CIRI BOS PELIT TINGKAT DEWA

RESIKO PETUGAS PDAM TERHADAP PELANGGAN

SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DIBARAT

EMPAT TIPS TIDAK MUDAH DIADU DOMBA REKAN KERJA DIKANTOR

MEMBUAT RUTE BACA METER DAN TIPS AGAR TAHU TOTAL PEMAKAIAN

FOLLOWERS