PARTISIPASI MASYARAKAT: WUJUD TRANSPARANSI PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DEMOKRATIS
(PUBLIC PARTICIPATION: TRANSPARENCY DESIGN FOR FORMING OF DEMOCRATIC LEGISLATION) Syahmardan*
Abstrak
Implementasi partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berpedoman pada sistem politik yang dianut oleh negara, karena itu perubahan paradigma kenegaraan suatu negara memiliki konsekuensi terhadap perubahan pemaknaan dan mekanisme pelaksanaan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Di era reformasi, bingkai transparansi diartikulasikan sebagai partisipasi yang diberi makna keterlibatan masyarakat dalam proses politik yang seluas-luasnya utamanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, harapan terhadap adanya suatu transparansi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai menguat. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundangundangan yang dimulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan dan pengundangan. Kata kunci : Peraturan Perundang-undangan, Partisipasi Masyarakat. Baca Juga : Rabiah-binti-ismail-asy-syami-wanita
Abstract
Implementation of public participation in the forming of legislation based on the political system adopted by the state, so that the changes for paradigm of a nation state has the consequences of changes in interpretation and implementation mechanisms of public participation in the forming of legislation. In the reform era, articulated frame of transparency is given meaning as the participation of community involvement in the political process as possible particular in the forming of legislation. With the enactment of the Law Number 12 Year 2011 on the Forming of Legislation, expectations for the presence of a transparency in the forming of legislation began to strengthen.
Community can participate in all stages of the forming of legislation starting from theplanning, preparation, discussion, approval/adoption and promulgation.
Key words: Legislation, Public Participation.
* Perancang Peraturan Perundang-undangan pada
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. 136 Vol.
9 No. 1 - April 2012
A. Pendahuluan
Tantangan abad ke-21 sarat dengan tuntutan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas, utamanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, diperlukan suatu pendekatan bahkan paradigma di mana setiap stakeholders dapat berinteraksi dan berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang didasari dan disemangati nilai-niIai kemanusiaan dan peradaban yang luhur, serta diselenggarakan dengan mengindahkan prinsip good governance. Di dalam praktik ketatanegaraan, setiap negara berpedoman pada sistem politik yang dianut oleh negara sehingga prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang ditempuh juga mengacu kepada paradigma sistem politik yang dianutnya.
Di era reformasi, bingkai transparansi diartikulasikan sebagai partisipasi yang diberi makna keterlibatan masyarakat dalam proses politik yang seluas-luasnya, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kenyataannya, sampai sekarang masih terjadi gap atau jarak bagi publik dalam memberikan masukan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. Bahkan tidak jarang aturan –undang-undang– yang dikeluarkan berujung pada judicial review di Mahkamah Konstitusi. Hal ini disinyalir instrumen hukum yang mengatur partisipasi masyarakat dianggap belum menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat itu dilaksanakan sehingga partisipasi masih dianggap sebatas “wacana” tanpa mengetahui seperti apa bentuk dan implementasinya.
Berdasarkan uraikan di atas, tulisan ini mencoba mencermati sejauh mana implementasi pengaturan dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini telah mengatur secara memadai? Pada tahap mana masyarakat dapat berpartisipasi dan bagaimana mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan? Karena bagaimanapun masyarakat secara umum merupakan kata kunci dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dalam konteks pembuatan, penegakan, maupun telaahan konsep teoritis/filosofis karena pada dasarnya hukum hadir seiring dengan keberadaan masyarakat itu sendiri.
B. Pijakan Teoritis
1. Konsep Negara Hukum Demokratis Menurut Aristoteles, negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; pertama pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuanketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintah despotik.
Menurut Julius Stahl, pokok-pokok utama negara hukum yang mendasari konsep negara hukum yang demokratis ialah:
- berdasarkan hak asasi sesuai pandangan individualistik;
- untuk melindungi hak asasi perlu trias politica Montesquieu dengan segala variasi perkembangannnya;
- pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) dalam rechtsstaat materiil dan ditambah prinsip doelmatig bestuur di dalam Sociale verzorgingsstaat;
- apabila di dalam menjalankan pemerintahan masih dirasa melanggar hak asasi maka harus diadili dengan suatu pengadilan administrasi. Sedangkan AV. Dicey, seorang pemikir Inggris mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur utama pemerintahan yang kekuasaannya di bawah hukum (the rule of law), yaitu:
- Supremacy of law, bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum);
- Equality before the Law, persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara;
- Constitution based on individual rights, konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.
Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 9-10.
Padmo Wahyono, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional dalam
Politik Pembangunan Hukum Nasional, Penyunting Muh. Busyro Muqoddas, dkk, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 40-41.
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Lib-erty, Yogyakarta, 1999, hlm. 24. 138 Vol. 9 No. 1 - April 2012
Menurut Sri Sumantri bahwa unsur-unsur penting negara hukum, yaitu;
- bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum;
- adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia(warga);
- adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
- adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechterlighe controle).Seksi Penerbitan Fak. Syariah IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, 2004, hlm. 9.
Dalam kerangka the rule of law diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi, adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan, dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktik. Namun demikian, harus ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Berkenaan dengan demokrasi bahwa secara epistimologi, kata demokrasi berasal dari bahasa latin, yakni demos, yang artinya rakyat dan kratos, yang artinya pemerintahan, sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi artinya pemerintahan rakyat.
Menurut Baharuddin Lopa, pada dasarnya makna demokrasi ialah pemerintahan yang berdasarkan kehendak rakyat, kedaulatan rakyat. Untuk mewujudkan kehendak tersebut, terlebih dahulu harus dijamin hak persamaan dan hak kebebasan.
Menurut J.B.J.M ten Berge dalam Ridwan HR menyebutkan prinsipprinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut:
Khairuddin Tahmid, Demokrasi dan Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Seksi Penerbitan Fak. Syariah IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, 2004, hlm. 9 5 Ibid, hlm. 9. 6 Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Fokus Media, Bandung, 2007, hlm. 34. 7 Baharuddin Lopa, Pertumbuhan Demokrasi Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, PT Yarsif Wataampone, Jakarta, 1999, hlm. 7. 8 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 9-10 139
a. Prinsip-prinsip negara hukum:
- (1) Asas Legalitas;
- (2) Perlindungan hak-hak asasi;
- (3) Pemerintah terikat pada hukum;
- (4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan
- hukum;
- (5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.
b. Prinsip-prinsip demokrasi:
- (1) Perwakilan politik;
- (2) Pertanggungjawaban politik;
- (3) Pemancaran kewenangan;
- (4) Pengawasan dan kontrol;
- (5) Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum;
- (6) Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
Secara teoritis -sejak zaman klasik- selalu menekankan bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat atau demos, populus. Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan demos yang senyatanya dalam proses politik yang berjalan. Paling tidak, dalam dua tahap utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan; kedua, deciding the outcome, yaitu tahap pengambilan keputusan.9 Dengan demikian, dalam negara hukum yang demokratis peranan rakyat sangat diperlukan dalam menentukan masalah apa yang akan dibahas dan diputuskan sertaberperan dalam pengambilan keputusan.
Konsep Partisipasi
Dalam perkembangannya, konsep partisipasi memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga. Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisasi melalui pemungutan suara, kampanye, dan protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah. Partisipasi sosial diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam konsultasi atau pengambilan keputusan. Dalam hal ini partisipasi sosial ditempatkan di luar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga
Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
140 Vol. 9 No. 1 - April 2012 diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Dalam argumen efisiensi, Cleaver mengatakan bahwa partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas individu-individu sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka.
Menurut Peters, partisipasi dapat tumbuh subur pada tata pemerintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dibanding hirarki dan teknokrasi. Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerja sama dan menggabungkan pengetahuan. Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan stakeholders.
Model Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundang pada dasarnya dapat dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara. Beberapa model partisipasi publik sebagai berikut:
a. Pure Representative Democracy
Dalam model partisipasi publik ini, partisipasi masyarakat masih bersifat “pure” atau murni. Rakyat selaku warga negara dalam suatu negara demokrasi keterlibatannya dalam pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga perwakilan.
Jhon Gaventa dan Camilo Valderama, Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, dalam pengantar buku, Mewujudkan Partisipasi; Teknik, Partisipasi Masyarakat Untuk Abad 21, The British Council dan New Economics Fondation, 2001.
Frances Cleaver dalam Bill Cooke dan Uma Kothari, Participation: the New Tyranny?. Zed Books, London, 2002, hlm. 37.
B. Guy Peters, the Feature of Governing; Four Emerging Models, University Press of Kansas, 1996, hlm. 49.
Saifudin, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, dicuplik dari http://kphindonesia.freevar.com/?p=232, diakses tanggal 15 Februari 2012. 141 hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislator dalam pembentukan peraturan perundangundangan.
b. A Basic Model of Public Participation
Dalam model ini, rakyat telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum, tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan. Meskipun demikian, model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakikat interaksi yang sebenarnya.
c. A Realism Model of Public Participation
Dalam model pilihan ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompokkelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisasi. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan. Akan tetapi, tidak semua warga negara melakukan public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan.
Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada kelompokkelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisasi. Dengan demikian, terdapat kecenderungan untuk memahami “public” dalam konteks yang terbatas.
d. The Possible Ideal for South Africa
Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi masyarkat ini merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu “those who are organized and strong; those who are organized but weak; and those who are weak and unorganized”. Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama.
Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.
4. Urgensi Partisipasi Masyarakat
Seorang filsuf Yunani, Cicero mengemukakan adagium “ubi societas ibi ius” yang secara sederhana dapat memberi gambaran yang lengkap tentang hubungan hukum dengan masyarakat, bahwa tiada hukum tanpa masyarakat dan tiada masyarakat tanpa hukum.
Hal ini Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
142 Vol. 9 No. 1 - April 2012 dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan hukum-masyarakathukum. Hukum dibentuk oleh, dan diperlakukan untuk masyarakat.
Dalam perspektif teori sistem, pandangan Cicero dan kenyataan hukum tersebut oleh Rasyidi dikonstruksikan secara sederhana sebagai berikut:
Konstruksi tersebut menggambarkan hubungan hukum dengan masyarakat. Masyarakat hukum pada hakikatnya merupakan himpunan dari individu-individu, dan setiap individu memiliki kepentingan sendirisendiri. Kepentingan itu ada yang sama dan ada yang berbeda, yang dapat menjadi sebab timbulnya sengketa. Sengketa dapat timbul dari kepentingan yang sama terhadap sumber pemenuhan kebutuhan yang terbatas adanya. Untuk mengatur kepentingan itu dan untuk menghindari sengketa, manusia menciptakan aturan yang mereka bentuk sendiri dan mereka berlakukan terhadap kehidupan mereka sendiri.
Gambaran yang sama juga terlihat dari pandangan paradigma hukum sosiologis (sociological jurisprudence), yang menganggap hukum yang baik itu adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
hukum dalam konteks sebagai suatu kesatuan sistem kenegaraan,
Nonet dan Selznick mengemukakan konsep mengenai 3 (tiga) keadaan
dasar hukum dalam masyarakat yakni:17
1. Hukum Represif, yakni hukum yang merupakan alat kekuasaan
represif;
2. Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu
menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri; dan
14 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosada Karya, Bandung,
1993, hlm. 126–128.
15 Ibid. 16 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1985. 17 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition Toward Responsive Law, New York,
Harper Colophon Books, 1978.
143
3. Hukum Responsif yaitu hukum yang merupakan sarana respons
atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat.
Pada hukum represif, tujuan hukum adalah ketertiban dan dasar
keabsahannya adalah pengamanan masyarakat. Aturan-aturannya
bersifat terperinci namun kurang mengikat pembuat aturan, sehingga
seringkali terjadi diskresi. Sifat memaksa tampak meluas dan hanya
secara lemah dibatasi, dan sementara itu yang dikembangkan adalah
“moralitas kekangan”. Hukum tunduk pada politik kekuasaan serta
harapan-harapan atas ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak-taatan
dianggap penyimpangan. Kritisis-me dipandang sebagai ketidaksetiaan.
Dalam hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang
didasarkan pada kejujuran prosedural. Aturan-aturan mengikat baik
penguasa maupun yang dikuasai dan diskresi dibatasi oleh hukum.
Paksaan dikendalikan oleh kekangan-kekangan hukum, dan
moralitasnya adalah moralitas institusional. Hukum “merdeka” dari
politik. Harapan--harapan ketaatan tidak terlampau ketat dan
dibenarkan oleh hukum misalnya dalam kerangka pengujian aturanaturan. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh prosedur-prosedur yang
mapan.
Pada hukum responsif, keabsahan hukum didasarkan pada
keadilan substantif dan aturan-aturan tunduk pada prinsip dan
kebijaksanaan. Diskresi dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan.
Paksaan lebih tampak dalam bentuk alternatif positif seperti insentif
atau sistim-sistim kewajiban mandiri. Moralitas yang tampak adalah
“moralitas kerja sama”, sementara aspirasi-aspirasi hukum dan politik
berada dalam keadaan terpadu. Ketidaktaatan dinilai dalam ukuran dan
kerugian-kerugian substantif dan dipandang sebagai tumbuhnya
masalah legitimasi. Kesempatan untuk berpartisipasi diperluas melalui
integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial.
Berpijak pada konsep Nonet dan Selznick, model pembangunan
hukum yang bagaimanapun, partisipasi masyarakat tetap menjadi
subsistem yang tidak bisa dikesampingkan. Hanya saja, tidak semua
model pembangunan hukum memandang penting partisipasi
masyarakat. Pada model hukum represif, masyarakat hanya menjadi
objek pengaturan, sedangkan pada model hukum otonom, partisipasi
masyarakat dihargai, hanya saja dibatasi oleh prosedur--prosedur yang
mapan. Berbeda pada model hukum yang responsif, kesempatan untuk
berpartisipasi dibuka secara luas.
Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
144
Vol. 9 No. 1 - April 2012
Dari ketiga model partisipasi masyarakat tersebut, model yang
mana yang mencerminkan sistem hukum di Indonesia? Berbicara model
pembangunan hukum di Indonesia tidak sederhana, karena harus
diruntut dari sejak berdirinya Republik Indonesia dan perjalanannya
sampai sekarang serta dinamika sosial politik di dalamnya. Kesulitan
juga ditemui karena apa yang dituangkan dalam dokumen politik hukum
seringkali berbeda dengan implementasinya di lapangan. Namun apabila
dikerucutkan pada era akhir yakni pasca-reformasi, maka ada
kecenderungan politik hukum Indonesia telah membuka ruang publik
yang cukup luas bagi partisipasi masyarakat. Kendati demikian, bukan
berarti tidak ada persoalan bagi masyarakat untuk menyuarakan
aspirasinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Karena proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
formal, tidak jarang membuat masyarakat enggan untuk ikut
berpartisipasi.
Dari penjelasan teoritik tersebut dapat digambarkan bahwa
masyarakat merupakan variabel penentu, baik dalam proses
pembentukan maupun dalam penerapan hukum. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan produk peraturan perundang-undangan yang baik, tidak
cukup hanya memenuhi dasar-dasar yuridis belaka, tetapi juga harus
mempunyai dasar-dasar filosofis dan sosiologis. Dalam rangka memenuhi
dasar-dasar sosiologis ini, maka diperlukan adanya partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan paling tidak akan menghasilkan hukum yang responsif dengan kebutuhan
hukum masyarakat.
C. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, harapan
terhadap adanya suatu transparansi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai menguat. Dalam konsiderans “Menimbang”
huruf c disebutkan salah satu alasan penggantian undang-undang
145
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa undangundang yang lama belum dapat menampung perkembangan kebutuhan
masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik.18
Mengacu pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Perundang-undangan didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan
melalui proses dan tahapan-tahapan tertentu.19
Berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang--undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah membuka
lebar ruang tersebut. Dalam Pasal 5 huruf g ditegaskan bahwa salah
satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus
berdasarkan pada asas “keterbukaan”.20 Dalam penjelasan Pasal 5 huruf
g menyebutkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundangundangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang luas untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Secara eksplisit, Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan telah
menjamin bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pada ayat (2), dibunyikan bahwa masukan secara lisan dan/
Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
konsiderans “Menimbang” huruf c, “bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung
perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik sehingga perlu diganti”.
19 Ibid, Pasal 1 angka 1, “Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan”.
20 Ibid, Pasal 5, “Dalam membentuk Peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g.
keterbukaan”.
146
Vol. 9 No. 1 - April 2012
atau tertulis dapat dilakukan melalui; a) rapat dengar pendapat umum;
b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan/atau d) seminar, lokakarya, dan/
atau diskusi.
Berkenaan dengan masyarakat yang berhak berpartisipasi dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menegaskan bahwa masyarakat dimaksud adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi
rancangan peraturan perundang-undangan.21 Dengan demikian kiranya
jelas, bahwa dari sisi politik hukum pembentukan peraturan perundangundangan, partisipasi masyarakat merupakan proses yang harus
dipenuhi. Persoalan selanjutnya, bagaimana caranya jika masyarakat
ingin menyampaikan aspirasinya dalam proses tersebut?
Sesuai dengan tahapan pembentukan peraturan perundangundangan, yang dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan/penetapan dan pengundangan 22 maka sesungguhnya sejak
tahap perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
terefleksi dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas),
masyarakat telah diberi ruang untuk berpartisipasi. Sebagaimana diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Pasal 16
ayat (3) “Dalam forum konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan
organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya
sesuai dengan kebutuhan”.23
21 Ibid, Pasal 96 ayat (3), “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundangundangan”.
22 Ibid, Pasal 1 angka 1, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan”.
23 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Nasional, Pasal 16 ayat (1) Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri;
ayat (2) Dalam hal konsepsi Rancangan Undang-Undang tersebut disertai dengan naskah Akademik,
maka Naskah Akademik dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi; ayat (3) Dalam forum
konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan
tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan
kebutuhan.
147
Pada tahap selanjutnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan
Presiden, Pasal 41 menyebutkan:24
1. masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa
dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan UndangUndang.
2. masukan dilakukan dengan menyampaikan pokok-pokok materi
yang diusulkan.
3. masyarakat harus menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perangkat peraturan perundangundangan memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,
namun partisipasi masyarakat tersebut oleh sebagian kalangan masih
ditafsirkan secara sempit sehingga seolah-olah partisipasi masyarakat
tersebut hanya terbatas pada hak untuk “didengar” saja. Apabila kita
telaah lebih jauh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, rumusan Pasal 96
ayat (1) menyebutkan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan”. Dari rumusan pasal tersebut, frasa “dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” dapat digarisbawahi.
Frasa ini penting karena pengertian “Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan” telah didefinisikan dalam Ketentuan Umum Pasal
1 angka 1, sehingga dapat dimaknai bahwa masyarakat berhak untuk
berpartisipasi dalam setiap tahapan perencanaan, penyusunan, dan
pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
24 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 41 ayat (1) Dalam rangka penyiapan
dan pembahasan Rancangan Undang-Undang, masyarakat dapat memberikan masukan kepada
Pemrakarsa; ayat (2) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan
pokok-pokok materi yang diusulkan; ayat (3) Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan
identitas secara lengkap dan jelas.
148
Vol. 9 No. 1 - April 2012
Namun terkait dengan pembahasan rancangan peraturan
perundang-undangan, terlihat belum ada suatu aturan mengenai
mekanisme partisipasi masyarakat yang memungkinkan masyarakat
untuk dapat memasuki wilayah pada rapat-rapat yang secara intens
membahas materi rancangan khususnya rancangan undang-undang
dalam Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja. Ketiadaan perangkat
peraturan perundang-undangan tersebut berimplikasi pada tertutupnya
peluang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dan mengakses secara
langsung perdebatan yang terjadi di Komisi/Pansus maupun Panitia
Kerja di Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini perlu dijadikan pemikiran,
sebab pembentukan undang-undang yang diletakkan dalam konteks
sosial masyarakat ternyata lebih mampu mendorong terwujudnya
produk undang-undang yang responsif. Dengan demikian dari aspek
sosiologi, undang-undang bukan sekedar keputusan politik semata dari
lembaga perwakilan, akan tetapi lebih merupakan penataan dan
endapan konflik nilai dan kepentingan yang diformulasikan oleh
lembaga legislatif.
Hal lain yang tidak bisa diabaikan yakni komunikasi, di mana
negara harus aktif mengkomunikasikan hak masyarakat untuk
berpartisipasi serta membangkitkan motivasi masyarakat untuk terlibat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat
pusat maupun daerah. Untuk itu, pada kondisi inilah perlu adanya
komunikasi hukum. Tanpa komunikasi hukum yang baik, akan sulit
digalang partisipasi masyarkat, meskipun peraturan telah memberi
ruang untuk itu.
D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi
partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan berpedoman pada sistem politik yang dianut oleh negara,
karena itu perubahan paradigma kenegaraan suatu negara memiliki
konsekuensi terhadap perubahan pemaknaan dan mekanisme
pelaksanaan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Di era reformasi, bingkai transparansi
diartikulasikan sebagai partisipasi yang diberi makna keterlibatan
masyarakat dalam proses politik yang seluas-luasnya utamanya dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
149
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, harapan
terhadap adanya suatu transparansi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai menguat. Masyarakat dapat berpartisipasi
dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dimulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan/penetapan dan pengundangan. Terkait dengan mekanisme
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, belum terlihat
adanya suatu aturan khusus mengenai mekanisme partisipasi
masyarakat yang memungkinkan masyarakat untuk dapat memasuki
wilayah pada rapat-rapat yang secara intens membahas materi
rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus
maupun Panitia Kerja. Hal ini dikhawatirkan menutup peluang
masyarakat untuk dapat terlibat dan mengakses secara langsung
perdebatan yang terjadi di Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja di
Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun demikian, secara umum komponen-komponen yang
dibutuhkan secara bersama-sama telah mendorong pembentukan
peraturan perundang-undangan di era reformasi yang melahirkan adanya
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas yang pada gilirannya
bermuara pada demokratisasi dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundangundangan di era reformasi telah menghasilkan produk peraturan
perundang-undangan –meskipun belum sepenuhnya– yang mendekati
rasa keadilan dalam masyarakat. Baca Juga : Rabiah-binti-ismail-asy-syami-wanita
Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi...
DAFTAR PUSTAKA
Cooke, Bill & Kothari, Uma, Tahun 2002,
Participation: the New Tyranny?, Zed Books, London.
Gaventa, Jhon & Valderama, Camilo, Tahun 2001,
Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, dalam pengantar buku, Mewujudkan
Partisipasi; Teknik, Partisipasi Masyarakat Untuk Abad 21, The British Council
dan New Economics Fondation.
Gafar, Afan, Tahun 2004, Politik Indonesia Transisi
menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 150 Vol. 9 No. 1 - April 2012
Lopa, Baharuddin, Tahun 1999, Pertumbuhan Demokrasi
Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, PT. Yarsif Wataampone, Jakarta.
Nonet, Philippe & Selznick, Philip, Tahun 1978,
Law and Society in Transition toward Responsive Law, New York, Harper Colophon Books.
Peters, B. Guy, Tahun 1996, the Feature of Governing;
Four Emerging Models, University Press of Kansas.
Rasyidi, Lili dan Putra, LB. Wiasya, Tahun 1993,
Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosada Karya, Bandung. Rasidi, Lili, Tahun
1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung.
Ridwan HR, Tahun 2007, Hukum Administrasi Negara, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Saifudin, Tahun 2009, Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, FH UII Press, Yogyakarta.
Tahmid, Khairuddin, Tahun 2004, Demokrasi dan Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Seksi Penerbitan Fak. Syariah IAIN Raden
Intan, Bandar Lampung. Thaib, Dahlan, Tahun 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara
Hukum, dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta.
Wahyono, Padmo, Tahun 1992, Asas Negara Hukum dan
Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional,
Penyunting Muh. Busyro Muqoddas, dkk, UII Press,
Yogyakarta. Yuhana, Abdi, Tahun 2007, Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan di
Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Fokus Media, Bandung.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun
2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Republik
Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Peraturan Presiden.
https://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/10/uu14-2008_keterbukaan_informasi_publik.pdf
Comments
Post a Comment
✅SILAHKAN KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARTIKEL ATAU KONTEN INI ‼️