PASCA-FILSAFAT

Ganteng, superkaya, investor   dengan teknologi terbaru ke angkasa luar,    entrepeneur abad ke-21,   Elon Musk seakan  mengulang keyakinan Julius Caesar, sang penakluk dari Roma,  “veni, vidi, vici”— “aku datang, aku lihat, aku menang”. 

Kata  Musk: “Jika yang disebut masa depan tak termasuk kemungkinan aku ada di antara bintang-bintang  dan jadi mahluk pelbagai planet, aku  akan benar-benar murung” 

Ia optimisme yang tebal, yang akarnya tertanam bersama lahirnya dunia modern, ketika manusia merasa mampu menaklukkan alam dan mengakumulasi ilmu pengetahuan.   Tapi sedikit anakronistis sebetulnya. Sejak  abad ke-20,  optimisme itu tak lagi bisa penuh. Sejauh-jauhnya  Musk dan teknologinya menjelajahi bintang, ia akan berhenti di satu pertanyaan yang muskil: benarkah ia mengetahui dunia yang direngkuhnya? 

Tentu saja Musk — juga seluruh ikhtiar sains dan teknolog — tak mempersoalkan itu.  Dan justru karena itu  sains dan teknologi menghasilkan hal-hal yang menakjubkan.

Tapi saya selalu ingat Ibu Sus, guru Fisika yang mengajarkan sains dan kerendahan-hati. Pesannya:“Kata ‘ilmu alam’ perlu kalian perhatikan. Fokus mata pelajaran ini adalah ilmu, teorinya, metodenya, matematikanya. Bukan alam. Terlalu luas.”  

Suatu hari ia membawa biola ke kelas (ia pemain biola yang impresif) dan berkata,  “Kita tak akan menyimpulkan dari mana datangnya melodi —  dari getaran  senar ini  atau dari sesuatu  dalam diri kita.”  Yang penting  menggunakan  rumus, misalnya f = n/t untuk mengetahui periode dan frekuensi getaran dalam sebuah nada.  

Ya, Ibu Sus mengajarkan sains dan kerendahan-hati.

Fisika kuantum — yang  dengan matematika yang sangat akurat mengukur dunia sub-atomik — juga membatasi diri dalam bertanya dan berharap. 

Kata  Niels Bohr,  pemimpin para pionir fisikawan  kuantum yang bertemu di Kopenhagen:  “Dalam deskripsi kami tentang alam, yang jadi tujuan bukanlah mengungkapkan hakikat fenomena yang sebenarnya, melainkan hanya menelurusi, sejauh mungkin, hubungan antara segi-segi yang berlipat-lipat pengalaman kami.”

Dengan kata lain, tak ada ambisi mengusut apa ”hakikat fenomena” dan menjawab benarkah  ada dunia realitas   yang mandiri dari   persepsi kita tentangnya.

Terhadap pertanyaan seperti itu —sebuah pertanyaan khas para filosof —  Heisenberg, salah satu tokoh Kelompok Kopenhagen, sudah menegaskan: “Mustahil”. Mustahil mengasumsikan ada sebuah dunia yang obyektif, yang  tak tergantung dari subyek, atau kesadaran, manusia. 

Tapi  kaum “realis” seperti Einstein membantah. Mereka anggap Heisenberg tak mau mengakui bahwa fisika kuantumnya adalah “sebuah gambaran yang tak lengkap tentang realitas”.  Kerja theorinya belum selesai.

Pertentangan asumsi tentang hakikat realitas itu tanpa kata putus. Tak ada juri, baik dari sains maupun dari filsafat.  Kedua pihak  tak sanggup.

Sains, jika kita ingat Bohr, “hanya menelurusi” hubungan  pelbagai aspek pengalaman.   Sementara filsafat, beribu tahun setelah Plato,  ternyata  tak kunjung menyimpulkan apa   yang secara universal diakui sebagai “benar”.

Dalam situasi itu pemikir seperti Richard Rorty  berkesimpulan, proses mencapai “kebenaran” bukanlah dengan mengacu ke  Sabda yang universal, melainkan  dalam  “percakapan” di suatu masa, di suatu tempat.  Apa yang “benar” adalah apa yang disetujui sebagai “benar” oleh mereka yang oleh peserta lain dianggap “rasional”. Pendeknya, bagi Rorty, pengetahuan (episteme) tak punya fondasi apa-apa kecuali kesepakatan sosial.  

Dengan itu,  filsafat tak bisa jadi  lagi jadi pegangan yang otonom dan teguh. Tak lagi jadi satu “Fach”.

Ada  satu “kebudayaan pasca-filsafat” yang  bangkit.

Dalam “kebudayaan pasca-filsafat”, yang tumbuh adalah dialog terus menerus antara sains, sastra, seni, teknologi, agama, dan lain-lain. Tak ada  hierarki antara mereka.  Jika ada bayangan filsafat, maka ia sebuah  “edifying philosphy”, yang mencerahkan dan bersama-sama menjadi percakapan yang merupakan “jalan baru yang lebih baik, lebih menarik, lebih berbuah”.

Di sana tak ada yang hakim yang mengariskan apa itu  Kebenaran.   Bukan juga sains.  Sains sangat penting perannya, tapi   Rorty, dalam “Consequence of Pragmatism,” menegaskan ia “tak menegakkan sains sebagai sebuah berhala”. 

Dalam “kebudayaan pasca-filsafat” itu,  hidup pun  mengalir, bebas, tak dikungkung doktrin dan berhala apapun.  Maka pemikir seperti Heidegger, yang dibaca Rorty dengan tekun, menyambut “akhir filsafat” dengan lega. Baginya “akhir filsafat” bukanlah keadaan yang “merosot dan impoten”.   “Akhir filsafat” berarti  tahap ketika metafisika telah komplit —ketika tercapai “Vollendung der Metaphysik”.  Saat itu berlangsunglah  “transisi ke awal yang lain”. Terbuka kemungkinan berfikir   dan hidup, untuk meminjam istilah F. Budi Hardiman, dalam “misik keseharian” - dengan empati kuat kepada alam dan sesama. Baca Juga : Harap-kenali-remunerasi-balas-jasa

Tapi ada juga kemungkinan lain, dan Heidegger memperingatkan itu. Ketika filsafat sebagai perenungan ditinggalkan, bisa datang masa ketika manusia lupa  “Ada”-nya sendiri. Ia  tak bersyukur,  ia serba menghitung untung rugi, selalu menuntut hasil, disertai sains dan teknologi yang tak rendah hati. Berseru,“Veni, vidi, vici.” Penulis FB Oleh : Goenawan Mohamad

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini? Klik...

Comments

Kirim E-mail anda dapatkan artikel berlangganan gratis....

Enter your email address:

DELIVERED BY sptirtadharma.net ||| 🔔E-mail : pdamsptd86@gmail.com

🔝POPULAR POST

MEMBUAT RUTE BACA METER DAN TIPS AGAR TAHU TOTAL PEMAKAIAN

PERANAN SATUAN PENGAWAS INTERN (SPI) PERUMDAM AIR MINUM DALAM GCG DAN PENINGKATAN KINERJA

ENAM CIRI CIRI BOS PELIT TINGKAT DEWA

DAPENMA PAMSI : PENYELENGGARA PROGRAM JAMINAN PENSIUN KARYAWAN PERUMDA AIR MINUM

MAKSIMALKAN PENGGUNAAN KUOTA MALAMMU DENGAN MEMULAI HAL INI

FOLLOWERS